Minggu, 27 Juli 2014

Tantangan Jokowi dalam pendidikan: Meneliti Bidang Perpustakaan dan Informasi di Indonesia : Apa dan Bagaimana?

Meneliti Bidang Perpustakaan dan Informasi di Indonesia : Apa dan Bagaimana?[1]

Putu Laxman Pendit, Ph.D.[2]

Pendahuluan

Jika kita berbicara tentang “penelitian”, maka pertama-tama yang dimaksud tentunya adalah “penelitian ilmiah” (scientific enquiry). Setiap pembahasan tentang kegiatan penelitian ilmiah ini tak dapat dilepaskan dari hasil atau produk penelitian tersebut, yakni “pengetahuan ilmiah” (scientific knowledge). Dalam pembahasan tentang pengetahuan ini, maka biasanya perlu ada diskusi tentang epistemologi atau sifat, asal-usul, lingkup, dan batas dari pengetahuan manusia, pandangan-pandangan yang mendasari kelahirannya, serta bagaimana metode untuk mendapatkannya. Wajarlah pula pada kesempatan kali ini, kita perlu berdiskusi terlebih dahulu tentang sifat, asal-usul, lingkup, batas, kelahiran, serta bagaimana metode untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah di bidang perpustakaan dan informasi, atau yang biasa kita sebut sebagai ilmu perpustakaan & informasi (selanjutnya IP&I).
Sebagai pembuka diskusi, mari kita simak tulisan yang disampaikan lebih dari satu dekade silam oleh Dick (1999), yang mengatakan bahwa kita sering secara tidak sadar memisahkan antara apa yang dilakukan pustakawan (what librarians do) dengan apa itu (makna) dari perpustakaan (what libraries mean). Menurut hematnya, kita seringkali lebih tertarik kepada yang pertama – apa yang dikerjakan pustakawan – karena berimplikasi praktis sehingga dianggap lebih ada gunanya bagi profesi pustakawan. Pendidikan kepustakawanan pada umumnya berorientasi ke sini, demikian pula penelitiannya.
Padahal pada saat yang sama "perpustakaan" pada dirinya sendiri juga punya makna penting. What libraries mean sebenarnya amatlah perlu dipahami dan dikaji secara ilmiah karena kita juga ingin membuktikan bahwa perpustakaan dan semua turunannya itu memiliki makna dalam kehadirannya sebagai institusi. Namun kajian tentang perpustakaan seperti ini tidak langsung berimplikasi praktis; tidak dapat langsung menjadi terapan atau teknik penyelenggaraan perpustakaan.
Apa yang diuraikan Dick di atas sedikit banyaknya dapat pula dipakai untuk melihat perkembangan penelitian IP&I di Indonesia. Walaupun dengan latar belakang berbeda, namun jelaslah bahwa IP&I di Indonesia lebih mengutamakan sisi praktis katimbang sisi maknawi dari perpustakaan. Pada berbagai kesempatan yang silam, penulis telah mengentarai betapa latar belakang pendirian perpustakaan di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis dan instrumental (Pendit, 1992a; Pendit, 1992b). Khususnya pula, kepustakawanan di Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya negara untuk mengembangkan keberaksaraan (literacy) dengan memanfaatkan infrastruktur peninggalan kolonial (Pendit, 2009a) yang sangat memengaruhi berkembangnya pandangan-pandangan teknis, baik di kalangan pendidik/akademisi maupun di kalangan profesionalnya sendiri.
Bahkan ketika pun institusi ini digunakan dalam pembangunan masyarakat modern berbasis demokrasi dan pengetahuan, tetaplah ia diposisikan lebih sebagai instrumen katimbang bagian dari sosial-budaya (Pendit, 1993; Pendit, 2009b). Dalam perkembangan terakhir pun, ketika teknologi informasi semakin mudah diaplikasikan dan setelah masyarakat Indonesia bertekad untuk terbuka, perpustakaan dan perangkatnya lebih sering dilihat sebagai instrumen. Memang secara implisit kita mengakui bahwa informasi dan pengetahuan saat ini di Indonesia memainkan peranan yang semakin penting dibandingkan sebelumnya, sehingga perlu secara khusus diperhatikan dan dijadikan bagian dari hak sipil di banyak negara[3].  Namun pada umumnya pemerintah lebih senang berkonsentrasi ke penyediaan alat atau infrastuktur yang dapat meningkatkan akses dan mengurangi kesenjangan[4]. Aspek ini lebih ‘tampak’ dan tangible. Inilah yang antara lain menyebabkan penelitian IP&I di Indonesia juga lebih tertarik mengkaji aspek what librarians do daripada what libraries mean.
Sementara itu, selain pemisahan antara do dan mean ini, menurut Dick ada lagi beberapa ciri khas penelitian di bidang perpustakaan, yaitu:
  1. Pusat perhatian yang beragam. Sebagian dari kita memperhatikan perpustakaan dan informasi dari sisi individu/perorangan, sementara sebagian lagi memperhatikannya dari sisi masyarakat/kolektif. Ada yang getol mengamati bagaimana pengguna sebagai individu berinteraksi dengan pustakawan, ada yang lebih memperhatikan pertumbuhan perpustakaan dan koleksinya sebagai bagian dari pengetahuan kolektif, dan ada lagi yang ingin melakukan keduanya.
  2. Pandangan yang berbeda tentang "pengetahuan". Masih ada ketidaksepakatan: apakah manusia datang ke perpustakaan untuk menemukan sebuah pengetahuan baru, ataukah mereka membangun sebuah pengetahuan baru? Apakah pustakawan "menyediakan" pengetahuan, ataukah pustakawan "membantu" pengguna membangun pengetahuan? Ataukah memang ada “posisi tengah” antara "menemukan" dan "membangun?
  3. Keengganan membahas prinsip, khususnya yang berkaitan dengan epistemologi di kalangan praktisi maupun peneliti bidang perpustakaan dan informasi. Dari sini juga muncul dua sikap yang kontras: ada yang cenderung menerima saja semua epistemologi dan metodologi yang pernah ada di dunia ini (dengan alasan bahwa ilmu perpustakaan adalah “multidisipliner”), sementara ada yang ngotot hanya menggunakan satu epistemologi yang sudah mereka kenal sejak zaman baheula dan menolak sama sekali setiap usul tentang epistemologi yang berbeda.
  4. Berkaitan dengan hambatan di atas, para pemikir di bidang perpustakaan dan informasi yang beraliran positivis merupakan pihak yang ngotot, sementara para pengritiknya juga tidak kunjung menawarkan alternatif yang lebih baik. Jadi, walaupun ada usul tentang epistemologi non-positivis mulai dari fenomenologi sampai pasca-strukturalisme, tidak ada kesepakatan tentang alternatif mana yang paling tepat untuk IP&I.
Keempat ciri tersebut juga dapat dipakai untuk melihat perkembangan IP&I di Indonesia khususnya ketika peran teknologi semakin nyata dalam perkembangan perpustakaan. Pada kesempatan lain, penulis mensinyalir bahwa walaupun perpustakaan adalah konteks dan habitus bagi teknologi informasi, namun kepustakawanan Indonesia seringkali luput memandang dirinya sebagai organisasi sosial-budaya yang ikut membentuk teknologi (Pendit, 2008). Sebaliknya, perpustakaan di Indonesia semata-mata mengadopsi teknologi untuk mengubah perpustakaan itu sendiri. Sementara itu, upaya hegemoni negara dan pemerintah terhadap informasi dan pengetahuan ikut memengaruhi pilihan-pilihan teknologi sebagai fasilitas. Selain dengan memilih, negara dan pemerintah juga memengaruhi perkembangan teknologi dengan mengabaikan atau secara tak langsung menghalangi beberapa penerapan teknologi dengan tidak menyediakan dana pengadaannya.  Kepustakawanan Indonesia ikut mengekalkan hegemoni pemerintah atas informasi dan pengetahuan dengan “membiarkan” pemerintah mengabaikan pemasangan fasilitas-fasilitas teknologi.
Pengabaian teknologi di perpustakaan Indonesia akhirnya juga melembaga dalam bentuk ketidakberdayaan pustakawan dalam menentukan pilihan-pilihan teknologi. Profesionalisme pustakawan direduksi menjadi kegiatan teknis menerima, menyimpan, dan menjaga buku. Fungsi perpustakaan sebagai lembaga yang melakukan “seleksi” menjadi terdengar absurd sebab tidak ada yang dapat dipilih, karena keterbatasan pilihan maupun keterbatasan dana untuk membeli koleksi. Fungsi penataan menjadi lebih penting, sehingga katalogisasi dan pengindeksan dianggap ‘inti dari kepustakawanan’[5]. Penerapan teknologi di perpustakaan akhirnya menjadi semata-mata teknis-prosedural. Kepustakawanan Indonesia juga akhirnya mengabaikan posisi sentral pustakawan dalam memilih teknologi.
Ambil contoh spesifik, teknologi temu-kembali (information retrieval). Teknologi ini sering direduksi menjadi katalog berbantuan komputer. Kalau pun memakai istilah OPAC (online public access catalogue), maka banyak di antara pustakawan di Indonesia yang kurang mencermati frasa ‘public access’ (akses umum, akses meluas). Kata ‘akses’ itu sendiri akhirnya hanya merujuk ke kegiatan teknis membuka pangkalan data dan mencari data. Jarang di antara kita yang mengartikan akses sebagai keleluasan dan kemerdekaan mengembangkan pengetahuan[6]. Teknologi akses dibatasi pada pengertian teknologi pangkalan data, dan frasa ‘akses ke Internet’ seolah-olah bermakna penyediaan komputer yang tersambung ke Internet belaka.
Kenyataan-kenyataan di atas tentu saja amat memengaruhi perkembangan IP&I, baik dalam hal pendidikan kesarjanaannya, maupun dalam penelitian serta kegiatan ilmiah lainnya di dalam lingkungan akademik. Inilah ciri awal IP&I di Indonesia yang akhirnya menentukan sifat, asal-usul, lingkup, batas, kelahiran, serta bagaimana metode untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.

Tradisi Akademik dalam Perkembangan IP&I

Ilmu apa pun tentunya berkembang dalam lingkungan akademik. Namun sebagaimana diuraikan di atas, orientasi teknis-praktis IP&I di Indonesia lebih ditentukan oleh perkembangan perpustakaan sebagai instrumen yang ditentukan oleh keaktifan negara/pemerintah dalam mendanai pengembangannya. Ini berbeda dibandingkan, misalnya, perkembangan di Eropa. Sebagaimana diteliti oleh Åström (2008) kondisi perkembangan IP&I di negara-negara Nordic mencerminkan kaitan antara afiliasi fakultas dan topik-topik penelitian di kalangan akademisi IP&I. Penelitian berorientasi humaniora dilakukan oleh akademisi yang fakultasnya berada di bidang itu, seperti di Universitas Uppsala di Swedia. Sementara di negara-negara Finlandia terdapat berbagai sekolah yang berorientasi ke information retrieval dan kajian pencarian informasi (information seeking) karena pada umumnya berada di fakultas teknologi. Hal ini juga terjadi di Royal School of Library and Information Science (Denmark) dan di Swedish School of Library and Information Science (Swedia), walaupun terdapat pula penelitian yang berorientasi humaniora di keduanya.
Menurut Åström, perkembangan IP&I mengikuti gejala yang disebut sebagai “Mode 2” dalam ilmu pengetahuan[7], khususnya karena memperlihatkan kaitan amat erat dengan penerapan di wilayah praktik dan kecenderungan untuk menghasilkan aplikasi (applications-oriented research). Pada saat yang sama masih terdapat pula pengaruh amat kuat dari disiplin ilmu di mana sekolah IP&I tersebut berada, khususnya dari segi alokasi dana penelitian dan kredibiltas keilmuan. Dengan kata lain, telah terjadi semacam “negosiasi” antara perkembangan praktik di luar universitas (yang menyebabkan para peneliti IP&I “melayani” kepentingan industri atau profesi) dan aspirasi keilmuan yang diwakili oleh disiplin ilmu di mana jurusan IP&I itu berada.
Di Indonesia, tradisi IP&I sulit dikatakan berkait dengan disiplin ilmu di mana sebuah jurusan atau departemen berada. Disiplin ilmu kepada siapa sebuah departemen IP&I “menginduk” hanyalah kuat berpengaruh pada kurikulum pengajaran sarjana. Penelitian-penelitian IP&I di Indonesia seringkali lebih mengakar pada praktik dan teknis penyelenggaraan perpustakaan, katimbang pada tradisi keilmuan tertentu. Kecenderungannya memberikan kesan bahwa IP&I di Indonesia memiliki karakter penelitian evaluasi (evaluation research) yang mementingkan tujuan menghasilkan masukan bagi pengambilan keputusan administratif dalam penyelenggaraan perpustakaan. Memang, penelitian evaluasi juga adalah salah satu jenis yang amat populer di IP&I di berbagai negara khususnya sebagai sebuah penelitian ilmu sosial yang berorientasi praktis maupun akademik dan menggunakan survei sebagai metode utamanya (Powell, 2006). Di Indonesia, penggunaan metode evaluasi ini nampaknya lebih untuk keperluan praktis daripada akademik.
Akibat orientasi ke aspek praktis/teknis dan ketiadaan ikatan dengan disiplin “induk”-nya, maka IP&I di Indonesia juga memperlihatkan kesan mengabaikan perkembangan teori. Padahal akademisi IP&I di Indonesia sebenarnya berada di berbagai fakultas yang memiliki disiplin dan tradisi keilmuan tersendiri, misalnya di fakultas ilmu budaya (di Universitas Indonesia dan sebagian besar universitas lainnya), di fakultas ilmu sosial (di Universitas Airlangga dan Universitas Padjadjaran), atau di fakultas teknik (di Institut Pertanian Bogor). Keberadaan para akademisi IP&I di berbagai fakultas tersebut tak serta merta menyebabkan mereka menggunakan teori-teori dari ilmu “tuan rumah” mereka. Sedangkan ketika mereka mengadakan penelitian, pada umumnya mereka tak pula bisa mengklaim telah menggunakan teori yang spesifik atau yang berbeda dari teori “tuan rumah” mereka.
Maka muncul keadaan yang sebenarnya amat merugikan perkembangan IP&I di Indonesia, yaitu dalam bentuk keraguan masyarakat akademik tentang keilmiahannya (misalnya dalam bentuk pertanyaan “Benarkah IP&I sebuah ilmu jika yang dikajinya hanya praktik atau prosedur teknis?”) atau dalam bentuk keraguan landasan ilmiahnya (misalnya dalam bentuk pertanyaan, “Apakah IP&I memiliki teori sendiri?”). Di lain pihak, para akademisi IP&I sendiri tak dapat secara tuntas menjelaskan klaim mereka tentang keilmuan, sebab – sebagaimana telah diuraikan di atas – mereka pada umumnya mengandalkan penelitian evaluasi terhadap praktik dan prosedur kerja di perpustakaan. Kalau pun mereka berupaya mengklaim keilmiahan kegiatan mereka, maka yang kemudian nampak adalah IP&I sebagai metode penelitian yang positivistik, mengandalkan survei serta statistik, tetapi tak dapat menggunakan alasan-alasan teoritik untuk menjelaskan kekhasannya (dus, tidak terlihat sebagai ilmu yang spesifik)[8]. Dengan kata lain pula, penggunaan metode atau teknik penelitian tertentu secara sering di IP&I di Indonesia sebenarnya tak dapat menyentuh persoalan yang lebih mendasar tentang epistemologi.
Padahal di negara lain, termasuk di negara yang dianggap “melahirkan” IP&I seperti Amerika Serikat dan Inggris, ilmu ini sedang mendapatkan momentum perkembangannya sebagai sebuah ilmu yang mengandalkan pendekatan multidisipliner dan interdisipliner. Selain itu, IP&I juga mempunyai peluang untuk memastikan epistemologinya dengan meninjau kembali apa yang selama ratusan tahun sudah dikembangkan di universitas-universitas. Sebagaimana dikatakan oleh Day (1996), dari sisi pandang postmodern maka IP&I seyogyanya mempelajari kekuatan dan relasi produksi yang selama ini telah membentuk pengetahuan dan berbagai bidang ilmu. Dengan mempelajari hal ini, maka harusnya ada kajian sejarah dan filosofis yang juga melihat kondisi di luar institusi IP&I. Dari segi metode, maka harus dilakukan peninjauan terhadap landasan epistemologis yang selama ini digunakan untuk mengklaim bahwa IP&I adalah benar-benar ilmu, khususnya klaim yang menggantungkan diri kepada metode kuantitatif dan analisis untuk memperoleh solusi-solusi administratif.
Secara spesifik Day menganggap perlu ada dekonstruksi terhadap "scientific management" yang melanda kajian-kajian organisasi dan yang sudah berpengaruh terhadap IP&I selama ini. Secara historis, harus ada kritik terhadap teori, metode, dan objek kajian IP&I sebagaimana yang sudah terbangun sejak berdirinya Chicago Library School di tahun 1926 dan yang sudah amat dipengaruhi oleh industri telekomunikasi yang positivistik.  Lebih jauh, Day juga melihat bahwa diperlukan ekspansi bidang kajian, dari yang semula hanya berkonsentrasi pada “objek tradisional” seperti institusi perpustakaan, buku, klasifikasi, ke konteks yang lebih luas dari produksi, aliran, dan pertukaran informasi. Misalnya, pengertian “perpustakaan” harus diletakkan dalam konteks produksi dan pembentukan pengetahuan yang antara lain diwarnai oleh diskursus ideologi, isu keadilan akses, upaya sensor oleh negara, perkembangan masyarakat sipil, dan sebagainya. Perlu juga ada tinjauan yang mendalam dan menyeluruh tentang hakikat dari “informasi” itu sendiri, baik sebagai objek (apakah ia objek yang berdiri sendiri, atau objek parsial, atau objek transisional?). Masalah “kebutuhan informasi” juga seharusnya diperluas sehingga menyentuh pula isu sosial, budaya, dan komunikasi.
Upaya mengimbangi orientasi positivistik telah pula berkembang di IP&I, misalnya sebagaimana diuraikan Williamson (2006) yang melihat mulai semakin popularnya konstruktivisme (constructivism) sebagai salah satu paradigma atau tradisi interpretivis untuk menyelidiki bagaimana manusia membangun pemahaman atau makna tentang dunia kehidupan mereka. Jadi “makna” (meaning) merupakan fokus penelitiannya, khususnya sebagaimana yang ada di dalam nilai-nilai budaya dan isu sosial. Ada dua aliran besar konstruktivisme; yang satu berkonsentrasi pada konstruksi makna oleh individu/perorangan, sementara yang lain pada konstruksi bersama oleh sekelompok orang atau komunitas. Menurut Williamson, di bidang perpustakaan ada Brenda Dervin yang merupakan salah satu peneliti pelopor aliran pertama dengan metodologi yang diberi nama Sense-Making Methodology untuk mengkaji perilaku pencarian informasi orang perorangan. Sedangkan Elfreda Chatman dianggap pelopor untuk aliran kedua karena penelitiannya tentang kebutuhan informasi di kalangan kelompok-kelompok masyarakat marjinal (perempuan tua, kelompok miskin, para pesakitan di penjara, dsb.). Williamson sendiri menggunakan bentuk lain dari tradisi intrepretivis, yakni etnografi (ethnography) untuk mengkaji sistem dan manajemen informasi.
Menurut Jones (2008) pengembangan IP&I bahkan seyogyanya memperhatikan kebutuhan masyarakat akan “ilmu tentang kompleksitas” (a science of complexity) yang bersifat non-reduksionis. Dengan ilmu seperti ini maka akan ada tempat bagi pengembangan humaniora yang peduli terhadap pemahaman kita tentang “becoming”. Masyarakat kini membutuhkan kombinasi antara filsafat dan sains yang dapat menjelaskan baik “being” maupun “becoming” tanpa harus berkonsentrasi pada salah satu dan mengabaikan yang lainnya. Selama ini salah satu reduksi yang amat mendasar dan dianggap merugikan adalah upaya memisahkan manusia dari alam yang kemudian mengarah pada pemikiran bahwa hal yang dikaji sebuah ilmu adalah bentuk murni dari realitas sebagai “sesuatu” yang bersifat kebendaan. Hal ini terlihat di dalam IP&I ketika mendefinisikan apa itu “informasi”. Ketika berbicara tentang “membaca”, “penulis”, “koleksi”, kita jarang bersepakat tentang apa itu “informasi” sebagai bagian dari kehidupan manusia yang utuh. Kita cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat kebendaan.
Para akademisi dan peneliti IP&I di Indonesia tentunya perlu melihat perkembangan-perkembangan di atas sebagai peluang untuk menegaskan epistemologi ilmu mereka. Sudahlah jelas bahwa pendekatan multidisipliner amat menjanjikan bagi perkembangan IP&I, dan amatlah menguntungkan bahwa jurusan dan departemen tempat para akademisi IP&I itu berkiprah sudah berada di berbagai fakultas yang memiliki disiplin ilmu berbeda. Peluang akademisi Indonesia untuk meniru pola pengembangan IP&I di negara-negara Finlandia, Swedia, dan Denmark yang menggabungkan tradisi akademik dan “kebutuhan industri” sebenarnya amatlah besar.

Potensi dan Tantangan

Perkembangan dunia dan masyarakat informasi (information society) atau yang juga dikenal sebagai masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) saat ini sebenarnya semakin menegaskan keperluan kita tentang pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang institusi yang secara tradisional kita sebut “perpustakaan” itu. Walaupun teknologi terus berubah cepat, umat manusia pada umumnya tetap memerlukan institusi perpustakaan yang mungkin saja telah berubah dalam format, prosedur, atau bentuk fisiknya. Dalam konteks ini maka amatlah relevan untuk mencermati tulisan Buckland (2003) yang menganjurkan revitalisasi IP&I dengan menjawab apa yang ia sebut “five grand challenges” (lima tantangan utama), yaitu:
  1. Bagaimana memastikan agar jasa perpustakaan lebih bermakna, bukan hanya dengan menganalisis “kebaikan perpustakaan” (library goodness) atau relevansi, melainkan juga menyelidiki apa sesungguhnya peran dan makna perpustakaan dalam kehidupan masing-masing pengguna jasanya.
  2. Apa hakikat dari pemikiran (atau teori tentang) perpustakaan? Kenapa insitusi ini hadir di sebuah masyarakat dan siapa yang menghadirkannya; apa latar belakang pemikiran dari orang-orang yang selama ini melahirkan kepustakawanan di berbagai masyarakat?
  3. Bagaimana sesungguhnya para pengguna jasa perpustakaan melihat penerapan teknologi informasi di perpustakaan? Apa sesungguhnya yang dimanfaatkan oleh mereka ketika memakai berbagai media dan perangkat yang disediakan di perpustakaan?
  4. Di mana posisi institusi perpustakaan dalam kehidupan bermasyarakat; seberapa netralkah perpustakaan? Di satu sisi ada asumsi bahwa perpustakaan adalah netral karena berusaha menghimpun koleksi tanpa diskriminasi dan juga mengupayakan keterbukaan akses bagi semua orang. Di sisi lain ada persoalan tentang ketergantungan perpustakaan pada sumber dana yang akan memengaruhi netralitas, ketidak-mungkinan pustakawan untuk sungguh-sungguh tak memihak, dan keberadaan perpustakaan dalam konteks sosial-budaya yang pasti mengenakan batasan-batasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh.
  5. Bagaimana sesungguhnya komunitas memanfaatkan perpustakaan sejalan dengan perkembangan media dan teknologi yang digunakannya, khususnya sebagai communities of discourse (komunitas diskursus)? Bagaimana perpustakaan berperan dalam mengembangkan aneka pengetahuan di sebuah masyarakat melalui penyediaan akses dan berbagai jasa informasi?
Kalau kita perhatikan baik-baik, kelima anjuran Buckland tersebut sebenarnya dapat pula menjawab kekuatiran yang bersembunyi di balik sinyalemen Dick yang penulis kutip di awal makalah ini. Jelaslah bahwa revitalisasi yang dimaksud Buckland tak dapat dilaksanakan jika kita masih memisahkan antara what librarians do dan what libraries mean. Revitalisasi IP&I juga tak dapat terwujud jika orientasi penelitiannya hanyalah bidang-bidang praktis dan teknis perpustakaan sebagaimana yang sudah selama bertahun-tahun kita kembangkan di Indonesia. Dengan kata lain, kalau kita ingin merivitalisasi IP&I, sebaiknya kita mulai dengan melihat aspek do dan mean sebagai satu kesatuan.
Dengan kata lain pula, kini kita dapat mulai memandang bidang perpustakaan secara lebih menyeluruh sebagai sebuah fenomena yang di dalamnya mengandung kegiatan-kegiatan manusia menggunakan teknologi untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan, sebagai bagian dari upaya bersama untuk membangun sebuah kehidupan berbasis informasi dan pengetahuan yang lebih bermakna. Para akademisi IP&I perlu memulai sebuah upaya baru untuk melihat perpustakaan bukan sebagai sebuah lokasi fisik apalagi sebuah gedung, melainkan sebagai institusi yang berada dalam sebuah konteks sosial-budaya, bukan sebagai instrumen apalagi sebagai alat-teknis belaka. Ini dapat dilakukan tanpa sepenuhnya “menanggalkan” tradisi penelitian yang sudah berkembang di bidang pepustakaan dan informasi selama ini.
Kita tetap dapat menjadikan kajian White dan McCain (1998) sebagai patokan. Mereka menemukan bahwa ada 12 pengkhususan atau topik penelitian IP&I. Namun sekarang kita dapat menggunakan kategori mereka bukan sebagai pemisahan, melainkan sebagai upaya melihat kaitan antar kategori. Misalnya, kajian-kajian temu-kembali informasi eksperimental (experimental information retrieval) dan analisis sitasi (citation analysis) tak perlu dipisahkan dari kajian-kajian temu-kembali praktis (practical information retrieval) dan bibliometrika (bibliometrics). Lalu, semua kajian tersebut dapat saja dikaitkan dengan apa yang selama ini dikenal dengan “teori umum tentang sistem perpustakaan” (general library systems theory) dan “teori tentang pemakai” (user theory), sebab toh pada akhirnya semua teknologi temu-kembali dan penggunaan sitasi di dalam sistem perpustakaan adalah untuk kepentingan pemakai.
Hal terpenting yang dapat dilakukan dalam rangka revitalisasi IP&I tanpa meninggalkan tradisi penelitian seperti di atas adalah penegasan bahwa secara epistemologis kita tak lagi melihat perpustakaan dan informasi sebagai semata-mata benda yang dapat secara fisik dipisahkan dari manusia dan kehidupannya. Dengan demikian, kita dapat melakukan semacam rekonsiliasi yang akan menghasilkan pandangan bahwa perpustakaan bukanlah semata-mata alat untuk “menemukan” informasi, melainkan juga sebuah sarana berkegiatan intelektual untuk “membangun” pengetahuan; tak lagi menganggap bahwa para pengguna jasa perpustakaan adalah semata-mata individu yang terlepas-lepas dari konteks sosialnya, melainkan juga adalah sebuah komunitas yang memiliki aspirasi budaya dan kepentingan politik; tak lagi mengecilkan makna sarana perpustakaan sebagai semata-mata alat untuk “menyalurkan” informasi secara fisik melainkan juga sebagai sebuah ajang dan wacana yang mempertemukan berbagai kepentingan dalam suasana dialogis.
Tentu saja posisi epistemologis di atas akan berimplikasi pada penggunaan metode penelitian IP&I. Di makalah ini tidak ada cukup ruang untuk membahas rincian metode yang dapat digunakan, namun penulis telah menghasilkan tiga buku yang dapat dirujuk untuk ini, yaitu:
  1. Metode Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Jakarta : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2004
  2. Mata Membaca Kata Bersama, Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri, 2006
  3. Merajut Makna : Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perpustakaan dan Informasi, Jakarta : Citra Karyakarsa Mandiri, 2009.
Rujukan
Åström, F. (2008), “Formalizing a discipline : the institutionalization of library and information science research in the Nordic countries” dalam Journal of Documentation Vol. 64 No. 5, hal. 721-737.
Buckland, M.K. (2003), “Five grand challenges for library research”, dalam Library Trends, Vol. 51, hal. 675-86.
Day, R. (1996), “LIS, method, and postmodern science” dalam Journal of Education for Library and Information Science, Vol. 37, No. 4, hal. 317-324
Dick, A. L. (1999), "Epistemological positions and library and information sciences" dalam Library Quarterly vol. 69 no. 3, h. 305-323.
Duff, A. (2000), Information Society Studies, New York: Routledge.
Jones, B. (2008), “Reductionism and library and information science philosophy” dalam Journal of Documentation Vol. 64 No. 4, hal. 482-495.
Pendit, P.L. (1992a), "Ilmu perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia". Makalah untuk diskusi panel Perpanduan Teoritisi, Praktisi dan Organisasi Pustakawan dalam Era Globalisasi Informasi diselenggarakan Komisi Profesi dan Komisi Usaha Pengurus Besar Ikatan Pustakawan di Perpustakaan Nasional Jakarta, 21 Maret 1992.
Pendit, P.L. (1992b), "Model untuk kepustakawanan Indonesia : sebuah usul pendahuluan" makalah pendukung untuk Kongres VI dan Seminar Perpustakaan Ikatan Pustakawan Indonesia, Padang 18 - 20 November 1992.
Pendit, P.L. (1993), Perpustakaan Umum, Golongan Menengah, dan Demokratisasi : sebuah tinjauan awal tentang sejarah peran perpustakaan umum dalam masyarakat Indonesia. Laporan Penelitian OPF Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1993-1994.
Pendit, P.L. (2008), “Perpustakaan digital dan kepustakawanan: dari mana, hendak ke mana?” makalah Seminar Sehari Emerging Technology for Libraries, di UK Petra Surabaya, 29 Januari 2008.
Pendit, P.L. (2009a), “Red-plate profesionalism : Critical analysis on the relationships between Indonesian Library Association and the National Library of Indonesia” makalah untuk CONSAL- Congres of South East Asia Libraries , Hanoi, Viet Nam, 21 April 2009.
Pendit, P.L. (2009b) “Dari cicak vs buaya sampai pencitraan hari kiamat : tantangan kepustakawanan Indonesia” makalah untuk Seminar Sehari Freedom of Information, diselenggarakan oleh Goethe Institute dan PETRA Universitas Kristen, Surabaya, 8 Desember 2009.
Powell, R. (2006), “Evaluation research: an overview” dalam Library Trends, Vol. 55, No. 1, hal. 102–120.
White, H. D dan McCain, K.W. (1998), "Visualizing a discipline : an author co-citation analysis of information science, 1972 - 1995" dalam Journal of The American Society for Information Science, vol 49 no. 4, h. 327 - 355.
Williamson, K (2006), “Research in constructivist frameworks using ethnographic techniques” dalam  Library Trends, Vol. 55, No. 1, hal. 83–101.

[1]Makalah untuk Workshop Pustakawan, “Sukses Melakukan Pengkajian Informasi dan Perpustakaan”, Perpustakaan UGM, Yogyakarta, 11 Februari 2011
[2] Peneliti Independen, mendapatkan PhD dari RMIT University, Melbourne, Australia..
[3] Menarik untuk kita catat bahwa kata “informasi” di Indonesia amat ‘muda’ usianya dalam pembicaraan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita terlebih dahulu menggunakan kata “komunikasi” atau “pesan” (message) sebelum menggunakan kata “informasi”. Di Indonesia, kata “penerangan” lebih dahulu digunakan, terutama dalam pemerintahan rezim Orde Baru (1966-1998). Penggunaan kata “informasi” terlebih dahulu marak dalam konteks teknologi ketika komputer pribadi (PC) mulai digunakan secara meluas di tahun 1970an, pertama-tama di kalangan kampus dan bisnis, sampai kemudian merasuk ke segala bidang kehidupan.
[4] Akibat ke konsentrasi pada infrastruktur, seringkali akhirnya “masyarakat informasi” lebih dikaitkan dengan teknologi informasi. Duff (2000) pernah menyimpulkan bahwa konsep “masyarakat informasi” terlalu terkonsentrasi pada fakta bahwa perangkat komputer dan teknologi informasi sudah merasuk ke seluruh sendi kehidupan, namun jarang ada analisis yang memadai tentang masyarakatnya. Tak terkecuali, pemerintah Indonesia selalu lebih giat membangun sarana dan prasarana telekomunikasi, mulai dari satelit sampai jaringan kabel bawah laut, daripada memperbaiki jasa pemerintahan di bidang informasi dengan memperbaiki kualitas sumberdaya manusia penyelenggara sistem informasinya.
[5] Sebagian pustakawan menganggap bahwa katalogisasi dan pengindeksan adalah kegiatan utama dan bukti bahwa pustakawan memerlukan kemampuan intelektual. Padahal kedua kegiatan ini sangat prosedural dan ditentukan oleh kemampuan memahami buku petunjuk. Intelektualitas pustakawan akhirnya dibatasi pada kemampuan memahami isi buku dan tata cara pembuatan wakil dokumen sesuai buku-buku petunjuk tertentu. Pandangan ini amat dipengaruhi oleh sejarah kelahiran pendidikan perpustakaan di Indonesia, yang pada umumnya dibidani oleh ahli katalogisasi/klasifikasi sebagai bagian dari upaya “modernisasi” dan penerapan tata-organisasi perpustakaan negara-negara maju (khususnya Amerika Serikat dan Eropa).
[6] Indonesia termasuk negara yang paling lambat mengadopsi konsep open access dan open archive initiative, walau sudah mengadopsi konsep open source.
[7] Dalam hal ini Åström mengutip Gibbons, M. et al. (1994), The New Production of Scientific Knowledge: The Dynamics of Science and Research in Contemporary Society, London : Sage. Di buku tersebut Gibbons mencoba menjelaskan bagaimana perkembangan ilmu akhir-akhir ini semakin kurang mengikuti disiplin “baku” (yang memperlihatkan batas jelas antara satu ilmu dari ilmu lainnya), dan sudah bergeser ke kecenderungan untuk saling-silang antar ilmu untuk menjawab berbagai persoalan praktis yang memang juga memerlukan solusi beragam.
[8] Metode evaluasi, survei, dan statistik bukanlah metode yang digunakan oleh satu disiplin ilmu saja. Akademisi IP&I tak dapat mengklaim bahwa metode ini sudah cukup menjelaskan kekhasan ilmunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar